Menurut KH. Nawawi Sahim, salah satu tokoh masyarakat Cilegon, Mikran bukan hanya sekadar membaca Al-Qur’an, tapi sebuah rutinitas yang menguatkan ikatan spiritual di komunitas. Tradisi ini berlangsung setiap malam Ramadhan, dimulai setelah Shalat Tarawih, dan di beberapa kampung, bisa berlanjut hingga menjelang Subuh.
Yang membuat Mikran semakin istimewa adalah pelaksanaan tadarus yang melibatkan pengeras suara, sehingga suara bacaan Al-Qur'an terdengar hingga ke setiap sudut kampung.
"Walaupun tadarus bisa dilakukan kapan saja, Mikran menjadi lebih bermakna karena dilaksanakan secara bergantian oleh masyarakat, terutama mereka yang sudah fasih membaca Al-Qur’an dengan tartil," ungkap KH. Nawawi Sahim dalam pesan WhatsApp-nya, Sabtu (1 Maret 2025) malam.
Tak hanya itu, keunikan tradisi ini adalah mampu menghatamkan Al-Qur'an lebih dari sekali dalam sebulan. Bahkan, beberapa orang dapat menghatamkan Al-Qur'an hingga empat kali dalam bulan Ramadhan. Hal ini tentu mencerminkan betapa besar antusiasme warga untuk terus melestarikan tradisi ini, dan bagaimana Mikran menjadi momen bersama untuk meresapi setiap ayat-Nya.
Namun, ada sebuah klarifikasi penting yang perlu disampaikan. Banyak yang mengira bahwa Mikran identik dengan penggunaan mikrofon. Padahal, menurut Kangaji Nawawi, sapaan akrab KH. Nawawi Sahim, Mikran berasal dari kata "memace" dalam bahasa Cilegon, yang berarti "terus-menerus membaca". Jadi, inti dari Mikran adalah tradisi membaca Al-Qur’an tanpa henti, bergantian di masjid, musholla, atau langgar, dan bukan semata-mata penggunaan teknologi.
"Mikran sudah ada jauh sebelum mikrofon digunakan. Bahkan, ketika mikrofon mulai diperkenalkan di Cilegon, banyak ulama yang sempat mengharamkannya. Ini menunjukkan bahwa Mikran bukan soal teknologi, tetapi tentang melestarikan kebiasaan membaca Al-Qur’an secara terus-menerus," jelasnya.
Lebih dari sekadar kegiatan tadarus, Mikran menjadi sebuah kesempatan bagi masyarakat untuk mendengarkan dan meresapi ayat-ayat Al-Qur'an yang dilantunkan dengan khusyuk. Suara yang menggema hingga ke seluruh kampung ini diyakini dapat memberikan ketenangan batin dan memperkuat keimanan.
"Di tengah kehidupan yang semakin sibuk, Mikran adalah penyegar hati yang membawa umat untuk kembali mendekatkan diri kepada Allah," tambah KH. Nawawi.
Tradisi Mikran yang telah mengakar kuat di Cilegon ini juga membawa harapan akan kelestariannya di masa depan. Masyarakat berharap, terutama generasi muda, akan terus berpartisipasi dalam tradisi ini, agar ikatan spiritual antarwarga semakin erat.
"Ini bukan hanya tentang mempererat hubungan sosial, tapi juga memastikan bahwa warisan tradisi Islam tetap terjaga," pungkasnya.
Sebagai umat Islam, Mikran diharapkan menjadi tolak ukur peningkatan iman. Seperti yang tercantum dalam Surah Al-Anfal ayat 2:
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut Allah kepadanya, tergetar hatinya, dan jika dilantunkan ayat-ayat-Nya maka bertambahlah imannya."
Dengan mendengarkan ayat-ayat Al-Qur'an yang dilantunkan dengan penuh kekhusyukan, semoga kita semua semakin mendekatkan diri kepada Allah dan merasakan kedamaian batin yang mendalam.
Dengan demikian, Mikran lebih dari sekadar tradisi – ia adalah sarana untuk menguatkan keimanan umat Islam, menjaga warisan budaya, dan memperdalam pemahaman kita akan setiap ayat Al-Qur'an yang dilantunkan di bulan suci Ramadhan.
(Red*)
Posting Komentar