CILEGON, KBN.Com – Kebijakan pembatasan operasional truk angkutan barang selama dua pekan menjelang dan setelah Lebaran 2025 menimbulkan protes keras dari berbagai pihak.
Salah satunya datang dari Syaiful Bahri, Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Provinsi Banten, yang menilai kebijakan ini bisa merugikan sektor logistik dan perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
Menurut Syaiful, kebijakan pembatasan ini justru bertentangan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 8%.
"Pembatasan operasional yang terlalu ketat akan menghambat arus barang vital, terutama ekspor-impor. Jika ini terjadi, pasokan barang bisa terganggu, dan harga-harga barang bisa melonjak," jelasnya.
Durasi pembatasan yang mencapai hampir dua minggu juga dianggap berlebihan.
"Logistik sangat bergantung pada kelancaran distribusi barang. Jika kebijakan ini dipertahankan, masyarakat akan merasakan dampaknya, terutama dalam ketersediaan barang-barang penting," tambahnya.
Syaiful juga menegaskan pentingnya pemerintah untuk lebih mendengarkan masukan dari para pelaku usaha logistik.
"Kami berharap kebijakan yang diambil lebih bijaksana, menjaga kelancaran arus mudik tanpa mengganggu sektor logistik yang sangat penting bagi ekonomi kita," tandasnya.
Aptrindo Protes Pembatasan Angkutan Barang
Aptrindo tidak tinggal diam. Mereka berencana untuk melakukan "stop operasi" mulai 20 Maret hingga 8 April 2025 sebagai bentuk protes terhadap kebijakan ini.
Ketua Umum DPP Aptrindo, Gemilang Tarigan, menjelaskan bahwa kebijakan ini terlalu lama dan membebani pelaku usaha logistik. "Pembatasan truk seharusnya hanya berlangsung enam hari: tiga hari sebelum dan tiga hari setelah Lebaran. Namun, dengan durasi dua minggu, ini jelas merugikan banyak pihak," ungkap Gemilang.
Dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) yang diterbitkan pada 6 Maret 2025, pembatasan operasional berlaku untuk truk dengan tiga sumbu atau lebih, serta kendaraan pengangkut hasil galian atau bahan bangunan. Namun, kebijakan ini dikecualikan untuk angkutan bahan pokok, bahan bakar, dan logistik pemilu.
Gemilang juga mengkritik kebijakan tersebut yang tidak sejalan dengan target pemerintah untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
"Ini paradoks. Jika ekspor-impor saja dibatasi, bagaimana sektor perdagangan internasional bisa berkembang? Pembatasan dua minggu ini lebih mirip larangan operasional truk, bukan pembatasan," ujarnya.
Menimbang Kembali Kebijakan Pembatasan
Pembatasan ini seharusnya bertujuan untuk mengurangi kemacetan selama arus mudik Lebaran. Namun, beberapa pihak justru melihatnya sebagai langkah yang memperburuk keadaan. Ketergantungan pada transportasi darat yang semakin tinggi membuat rantai pasokan barang rentan terganggu, dan ini bisa memicu lonjakan harga barang.
Jika pemerintah berkomitmen untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, kebijakan semacam ini perlu direvisi. Sektor logistik memainkan peran penting dalam perekonomian dan kestabilan pasokan barang di pasar. Oleh karena itu, kebijakan yang diambil harus mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan mudik dan kelancaran distribusi barang.
Aptrindo berharap pemerintah mendengarkan suara pelaku usaha logistik agar solusi yang diambil lebih bijaksana dan tidak merugikan perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
"Diharapkan, kebijakan yang diterapkan lebih memperhatikan kelancaran distribusi barang yang sangat vital bagi perekonomian," tutup Gemilang.
Dengan semakin jelasnya dampak dari kebijakan ini, sebaiknya pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan pembatasan operasional truk agar tidak mengganggu stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
(Red*)
إرسال تعليق