CILEGON, KBN.Com – Di tengah pesatnya perkembangan industri di Cilegon, Provinsi Banten, sebuah tradisi yang telah lama hidup di tengah masyarakatnya tetap bertahan: qunutan.
Di balik hiruk-pikuk kota industri ini, qunutan terus menghubungkan warga dengan akar budaya mereka yang telah berlangsung turun-temurun.
Menurut Tokoh Masyarakat Kota Cilegon KH. Nawawi Sahim, qunutan bukan sekadar tradisi biasa, melainkan merupakan bentuk rasa syukur atas memasuki pertengahan bulan Ramadan.
"Qunutan adalah momen untuk mengungkapkan rasa syukur atas berkat yang diberikan Allah selama bulan puasa. Selain itu, acara ini juga dilengkapi dengan shodaqoh berupa ketupat, yang menjadi simbol kebersamaan dan saling berbagi antarwarga," ujar KH. Nawawi Sahim, pada Sabtu (15 Maret 2025) melalui pesan WhatsApp-nya.
Qunutan sebagai Tradisi Spiritual dan Sosial
Tradisi qunutan di Cilegon sendiri dimulai pada malam ke-16 Ramadan, di mana masyarakat setempat mulai menggunakan doa qunut dalam shalat tarawih mereka.
"Qunutan diambil dari kebiasaan umat Islam yang menganut Ahli Sunnah wal Jama'ah, yang mulai menggunakan doa qunut pada malam ke-16 Ramadan sebagai bagian dari rangkaian ibadah," jelas KH. Nawawi Sahim.
Setelah shalat tarawih, masyarakat di Cilegon biasanya mengadakan doa bersama, yang disertai dengan pembagian ketupat.
Ketupat yang telah disiapkan di masjid atau mushola ini, sering dijadikan hantaran untuk diberikan kepada saudara yang lebih tua, tetua kampung, serta guru ngaji dan guru madrasah.
"Ketupat ini bukan hanya sebagai simbol makanan, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan dan rasa terima kasih kepada mereka yang telah memberikan ilmu dan bimbingan," tambahnya.
Qunutan dan Maknanya Bagi Masyarakat Cilegon
KH. Nawawi Sahim menegaskan bahwa qunutan juga menjadi cara masyarakat Cilegon untuk mempererat tali persaudaraan.
"Melalui tradisi ini, warga Cilegon tidak hanya berbagi makanan, tetapi juga berbagi doa. Inilah yang menjadikan qunutan bukan sekadar ritual, tetapi sebuah sarana spiritual yang memperkuat ikatan sosial di tengah kehidupan yang semakin sibuk," ujar KH. Nawawi Sahim.
Bagi masyarakat Cilegon, qunutan memiliki makna lebih dalam dari sekadar hidangan ketupat dan opor ayam. Acara ini merupakan momen kebersamaan yang memperkuat nilai-nilai spiritual, sosial, dan budaya.
Ketupat dan opor ayam yang disajikan menjadi simbol persatuan, yang mempererat hubungan antarwarga dalam suasana penuh kasih dan doa.
Generasi Muda dan Pelestarian Tradisi
KH. Nawawi Sahim juga mengingatkan pentingnya melibatkan generasi muda dalam pelestarian tradisi qunutan.
"Generasi muda harus memahami makna dari tradisi ini dan melanjutkannya agar tetap lestari. Qunutan mengajarkan kita tentang pentingnya kebersamaan, berbagi, dan saling mendukung di tengah dunia yang semakin individualis," ungkapnya.
Dengan dukungan dari masyarakat luas, terutama generasi muda, KH. Nawawi Sahim berharap tradisi qunutan di Cilegon terus dilestarikan dan menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia yang tak tergantikan.
(Red*)
Posting Komentar